Jumat, 15 September 2017

Review Buku : Percy Jackson And The Olympians "The Battle of The Labyrinth"

Pengarang: Rick Riordan
Tahun Terbit: 2008
Penerbit: Mizan fantasi
Genre: Fantasy, Fiction, Adventure
Negara: USA
Pages: 445 Halaman

Rating : 4.5/5

Sinopsis dari Cover Belakang:

Percy pindah sekolah (lagi!)... tapi kali ini lebih parah, ketika orientasi murid baru, Percy sudah bikin kekacauan. Belum-belum Percy sudah berhadapan dengan monster yang menyamar jadi cheerleader. Dan Percy pun sebenarnya sudah kehabisan waktu, perang antara para Dewa dan Titan semakin dekat. Kronos dan pasukan pengikutnya sedang mencari jalan untuk menembus sihir perkemahan dan meluluhlantakkan Perkemahan Bukit Blasteran. Misi baru harus segera dituntaskan. Annabeth kali ini yang memimpin. Bersama Tyson dan Grover mereka harus masuk ke bawah tanah, menjelajahi Labirin buatan Daedalus, yang luas dan rumitnya luar biasa, dengan bahaya mengintai di setiap persimpangan.

Dalam misi yang dahsyat ini monster-monster kuno mengintai mereka, Labirin menyesatkan mereka, dan kenyataan tentang keberadaan dewa Pan yang dicari Grover akhirnya terkuak. Berhasilkah Percy menyelamatkan Bukit Blasteran?


MY REVIEW:

Buku ini dibuka dengan keributan yang harus Percy alami di sekolah barunya. Di buku sebelumnya, Percy diceritakan bertemu manusia fana (manusia biasa) yang bisa melihat menembus Kabut (menembus sihir) bernama Rachel Elizabeth Dare. Ia bisa melihat pedang Percy, Riptide. Dia juga bisa melihat zombie yang mengejar Percy bahkan membantu Percy melarikan diri. Mereka secara singkat saling bertukar nama lalu berpisah. Aku pikir ceritanya cuma sampai disitu, makanya aku ga menyebut-nyebut pertemuan singkat mereka di review-ku sebelumnya. 

Ternyata dalam buku ini, gadis itu muncul kembali dan mengambil peran yang cukup penting dalam petualangan Percy dkk. Hampir sama pentingnya dengan peran Thalia —meskipun dalam buku ini Thalia sudah tidak diceritakan lagi, mengingat ia menggantikan peran Zoe dalam kelompok Para Pemburu Dewi Artemis. Rachel-lah yang kembali menyelamatkan Percy ketika ia diserang monster berwujud cheerleader di sekolahnya yang baru.

Sekembalinya ke Perkemahan Blasteran, lagi-lagi petualangan baru menanti. Kali ini Annabeth-lah yang memimpin misi untuk masuk ke dalam Labirin buatan demigod bernama Daedalus. Kronos dan para antek-antek-nya berniat untuk menyerang Perkemahan Blasteran melalui Labirin tersebut. Konon Labirin tersebut dipenuhi berbagai rintangan maupun monster-monster mengerikan. Entah bagaimana, Labirin mengerikan itu tersambung dengan hutan yang ada di Perkemahan mereka. Bila Kronos dan kroninya berhasil menemukan jalan ke Perkemahan, habislah mereka. Guna mencegah pasukan Kronos masuk menyerang Perkemahan, Annabeth —beserta Percy, Grover dan Tyson, harus masuk ke dalam dan menemukan Daedalus. 

Sementara untuk berhasil menemukan Daedalus dalam Labirin, mereka harus menemukan Benang Ariadne yang akan membantu mereka menemukan markas sang Daedalus. 

Berhasilkah Annabeth memimpin teman-temannya menyusuri Labirin, menemukan Daedalus —sekaligus melindungi teman-temannya agar tidak mampus di dalam Labirin, dan mencegah Kronos beserta kroni-kroninya menyerang Perkemahan Blasteran yang dicintainya? Di sisi lain, kebangkitan Kronos sudah dekat dan tidak terelakkan lagi. Kepintaran Annabeth —serta impian-nya untuk mempimpin misi akhirnya diuji dan menjadi kenyataan lewat buku ke-empat petualangan Percy Jackson.


Oke, langsung aja lah ya. Aku akan memaparkan hal-hal yang ga aku sukai dan yang aku sukai dari buku keempat Petualangan Percy Jackson ini. Here I go:

Hal - Hal yang Ga Aku Sukai dari buku ini:

Rachel Elizabeth Dare. Gadis ini mendadak muncul kembali dan bikin kehebohan. Aku sudah feeling kalau dia bukan sekedar pemeran figuran, mengingat di buku sebelumnya namanya di sebutkan lengkap. Tapi aku ga mengira perannya akan sebanyak ini di buku keempat.

Yang bikin sebel. keberadaan Rachel seperti disengaja ada untuk membuat Percy bimbang dan bingung dengan perasaan khusus-nya ke Annabeth. Inget ketika di buku sebelumnya Percy ketemu sama Dewi Aphrodite dan sang dewi sangat tertarik dengan kehidupan cinta Percy? Nah, setelah itu Percy ketemu Rachel. And out of the blue, Percy think about Rachel more than he thought. Padahal awalnya Percy cuma menganggap Rachel itu annoying. Kenapa setelahnya Percy jadi punya keinginan untuk mikirin Rachel?! Ini aneh! Aku yakin ini ulah sang Dewi Cinta, ugh!

Aku ga membenci Rachel, tapi perannya yang mendadak sangat penting dan keberadaannya di antara hubungan Percy dan Annabeth bikin aku kesel. Rachel seperti ada untuk membuat tandingan bagi sosok Luke yang ada di hati Annabeth. Jadi sekarang keadaan impas. Masing-masing punya orang yang bisa bikin satu sama lain cemburu. Great

Well, ini teori-ku aja sih. Bisa jadi aku cuma bias. Soalnya di buku ini aku mulai nge-fans sama Annabeth. Jadi, aku ikut kurang suka dengan keberadaan Rachel walaupun aku ga benci keberadaan Luke. Dia boleh jadi nyebelin tapi entah kenapa aku masih punya soft spot buat Luke :p

Nico DiAngelo. Sebenernya aku uda ga simpatik sama dia sejak pertemuan pertama. Di buku sebelumnya dia cukup annoying. Waktu itu aku merasa dia nyebelin, bawel, cerewet dan pendendam. Tapi di buku ini aku jadi kasihan sama dia. Dia kehilangan Bianca DiAngelo, satu-satunya anggota keluarga-nya yang tersisa. Dia bahkan berasal dari suatu masa yang jauh dari masa kini —hidup di tahun 1930 dan dikurung dalam Hotel Lotus di Vegas selama 70 tahun. Kenyataan bahwa dia anak Hades, sangat ga membantu dalam kasus-nya menghadapi rasa kehilangan-nya setelah Bianca meninggal. 

Kenyataan bahwa aku akhirnya merasa kasihan sama dia buat aku jadi ga nyaman. Aku pengen ga suka sama dia sampe seterusnya :p tapi ga bisa lagi gara-gara buku ini.


Di buku ini Nico sangat dikuasai oleh kemarahan dan dendam. Dendam itu menjadikan-nya agen ganda. Satu saat dia memperkeruh suasana —yang beberapa kali terjadi, tapi di satu sisi dia cuma anak kecil yang sedang berduka dan marah. Nico, bagaimanapun juga masih punya sisi baik yang lebih dominan di dalam dirinya. He's demigod

Dia memang berusaha membuat Percy membayar kematian Biancha, dengan nyawa-nya sendiri —buset deh anak ini, tapi pada akhirnya dia menyerah dengan kemarahan-nya. Aku cuma merasa: "Duh, dek.. Percy ini uda bau tanah karena nyerempet kematian terus-menerus, situ behave sedikit bisa gak sih? Tolong dikondisikan itu suasana hatinya. Jangan muram terus kaya kuburan dong ah!" Well, dia emang anak Dunia Bawah yang urusannya sama kuburan dan hantu-hantu sih hahahaha. 

Anyway caranya dia nraktir hantu dengan McD itu epic! Aku beneran ga nyangka para hantu doyan Happy Meals LOL.


Ending. Maksudku, ending sebelum ending-nya. Duh, bingung deh jelasinnya gimana supaya bisa menjelaskan tanpa nge-spoiler. Untuk sederhana-nya, aku ga menyukai adegan ketika Percy harus kembali ke New York. Setelah pertarungan epic di Perkemahan Blasteran, juga kenyataan bahwa sekarang Kronos sudah bangkit dengan menggunakan pelayan setia-nya sebagai bejana hidupnya —ugh, sampai sekarang pun aku masih jijik dengan ide itu. Kenapa sih Percy harus mengalami dilema lagi? Seharusnya dia bisa merasa lebih baik setelah semua yang terjadi sebelum dia terlempar ke Ogygia, tapi bukan Rick Riordan namanya kalau ga mengaduk-ngaduk perasaan pembacanya. Aku jadi gemes banget liat adegan satu itu.  

Hal-Hal yang Aku Sukai dari buku ini:

Annabeth. Aku ga pernah mengira bakalan ada di pihak Annabeth. Awalnya aku malah ga terlalu suka sama dia —judes-nya itu loh amit-amit deh. 

Tapi buku ini emang menonjolkan Annabeth lebih dari yang sudah-sudah. Setelah buku ketiga, aku beneran mengharapkan perkembangan karakter Annabeth, dan buku ini ngewujudin harapanku itu. Yihaaa —*bledosin convetti*. Makasih om Rick! Ga heran dong aku langsung serta merta ada di #TeamAnnabeth. Maaf ya Rachel, tapi meskipun Annabeth jadi jutek sama kamu —gara-gara dia jealous hihihi, aku ga keberatan sama sekali! Judesin aja si Rachel, Beth! *ketawa jahat*


Aku suka gimana karakter Annabeth disini dikupas dengan adil. Kelebihan dan kekurangannya diuraikan dengan apa adanya. Ada waktu ketika aku merasa, "wah kumat lagi deh angkuh-nya dia, dasar cewek pinter". Tapi memang begitulah Annabeth. Kelemahannya Hubris, ingat? Tapi ga selalu Hubris-nya itu dalam artian buruk. Annabeth ini anti banget dianggap gampangan. Dia ga mau menyerah akan sesuatu hanya untuk menggampangkan situasi walaupun hal itu membahayakan nyawa-nya dan nyawa teman-temannya. Sikapnya itu mungkin terlihat angkuh, tapi disatu sisi  hal ini menunjukkan dia punya prinsip. Dia ga mau menukar prinsip nya itu hanya untuk lolos dari masalah. 

Oh my God, bisa ga sih dia ga keren-keren amat gini?

Pantes aja Dewi Artemis muji Annabeth banget. Keteguhan hatinya membuat dia mampu menahan beban langit di buku sebelumnya. Sesuatu yang sangat dihargai Dewi Artemis. Tau gak sih, cewek berprinsip itu sexy! Annabeth juga hebat dalam menentukan skala prioritas dan teman-temannya tahu itu that's why mereka jarang mempertanyakan keputusan Annabeth. Well, kecuali Percy hahaha. 

Di buku ini Annabeth juga belajar untuk menekan ego-nya, berkali-kali. Untungnya dia tau kapan dia harus mengendalikan emosi dan menutupi perasaannya. Menahan agar perasaannya gak mengambil alih akal sehat-nya. Di buku ini Annabeth seringkali digambarkan tidak fokus bahkan ketakutan. Hebatnya, dia masih mampu mengontrol dirinya sendiri di balik ketakutannya. Dia ga se-impulsif Percy atau meledak-ledak kaya Clarrise. She managed herself so well. Bahkan ketika dia terpaksa harus menunjukkan ke-jealous-an nya ke Rachel, jealous-nya Annabeth masih tergolong imut. 

Buatku, cewek yang bisa mengendalikan luapan emosi-nya sendiri itu keren banget. Apa aku nyebut Annabeth keren dua kali? Nah, now you've got the idea!


Annabeth dan Percy. Bisa dibilang buku ini adalah yang terbaik —sejauh ini, dalam membangun perkembangan hubungan Percy dan Annabeth. Aku ngaku deh, sekarang aku nge-ship mereka banget nget nget ngettt!

Di buku ini kayanya jelas banget ya perasaan Percy ke Annabeth. Percy tanpa sadar mulai menunjukkan kepedualiannya ke Annabeth lewat banyak tindakan kecil nan manis yang bikin leleh. Oke, koreksi. Mungkin kita pembaca tahu tapi orang yang bersangkutan —Annabeth maksudnya, ga bisa tahu. Percy banyak menyimpan pemikirannya tentang Annabeth dalam kepalanya sendiri. Tapi satu hal jelas sudah, dia ga melihat Annabeth dengan cara yang sama seperti di tiga buku sebelumnya.

Menurutku sih gayung bersambut, tapi sayangnya keadaan ga semudah itu untuk Annabeth. Satu hal lagi yang aku suka dari perkembangan hubungan mereka, Percy masih tetap gentleman seperti yang dia tunjukkan di buku sebelumnya. Sering kali Percy ngeliatin banget kalau dia ga mau Annabeth kenapa-napa. Dia jadi lebih sedikit protektif ke Annabeth. DAN, Percy kayanya benci liat Annabeth kalut atau sedih. Dia jelas khawatir setiap Annabeth marah ke dia, tapi setelah dia liat Annabeth ketawa atau senyum, dia langsung merasa semuanya berarti lagi. 



En aku menangkap bahwa Percy ini takut Annabeth terganggu dengan sikap protektif-nya ke Annabeth. Yah, Annabeth emang bukan tipe cewek yang suka dilindungi, she's a warrior. And a good one. Percy selalu merasa Annabeth bakal meninju-nya ketika dia kelewat perhatian atau bersikap impulsif untuk melindungi Annabeth, tapi dia tau apa sih? *Dasar otak ganggang!* Dia berkali-kali harus terkejut melihat reaksi Annabeth akan perhatian-nya —terutama saat insiden di Gunung St. Helens, but I love that!! I really love that part. Reaksinya Percy juga nyenengin banget deh! xixixixi.. Bisa dibilang itu adegan terbaik di buku ini sebelum akhirnya aku kembali terpuruk membaca bagian akhir-nya :( 

Tapi, semuanya itu membawa pada satu kesimpulan bahwa ga ada orang di Perkemahan yang begitu diperhatikan Percy melebihi Annabeth. Begitu juga sebaliknya, ga ada orang di perkemahan yang begitu dipercaya oleh Annabeth selain Percy. I think it's a good start for both of them :)


Ramalan. Buatku ini aspek sangat penting di sepanjang buku. Harus banget merhatiin kata-kata ramalan yang ada di kisah kali ini. 

Ramalan atau Oracle yang didapatkan setiap pemimpin misi sebelum berangkat menjalani misi emang bersifat ambigu. Sedari buku pertama sudah begitu. Tapi ramalan yang diberikan selalu tepat. Ramalan kali ini nge-twist abis dan menyimpan banyak petunjuk. That's why aku jadi makin jatuh hati dengan Rick Riordan, dalam buku ini semuanya semakin baik dalam segala aspek. Ketika semua terungkap di akhir buku, BOOM... akhirnya aku memahami semua hal yang membuatku bertanya-tanya di sepanjang buku.

Karena buku ini dibuat dari sudut pandang Percy, kadang aku kurang jelas dengan semua tindak-tanduk Annabeth. Padahal disini pemimpin misinya Annabeth. Dan karena aku juga pengen tahu banget perasaan Annabeth ke Percy, kadang aku cukup bingung sama Annabeth. Berkat ramalan akhirnya aku ngerti apa sih yang bikin Annabeth galau sepanjang misi berlangsung sampai selesai. 


The Obstacles. Buku ini cukup menguras emosi. Setiap tantangan yang harus Annabeth dkk hadapi berkali-kali hampir membuat mereka tewas. Kalau ga bikin jantungan, ya bikin galau. Ada aja yang bikin aku ga pernah duduk tenang selama mereka menjelajahi Labirin. Tapi di saat yang sama itu juga yang bikin aku ga bisa meletakkan buku ini lama-lama. Kaya pengen terus ngebalik halamannya sampai selesai. Bahkan ketika akhirnya mereka berhasil keluar dari Labirin—hidup-hidup, adegan itu ga lantas membuatku lega. Masih ada pertarungan akhir, yang jauh lebih sengit dibanding yang sudah mereka alami di Labirin. 

Uda gitu masih harus ada perdebatan kecil dengan salah satu Dewi di akhir buku. Ga ada istirahat-nya deh buku ini. Lompatan emosi nya gila-gila'an. Setelah dibikin terkikik-kikik geli sama adegan Percy dan Annabeth, berikutnya DANG —muncul sesuatu yang bikin adegan itu terasa ga begitu menggembirakan lagi. Duh! 

Characters Development. Sebagian besar tokoh dalam buku ini mengalami perkembangan karakter. Percy —tentu saja (walaupun menurutku pribadi satu-satunya pembelajaran Percy yang berharga adalah mengetahui perasaannya sendiri, sumpah deh Percy jangan tumpul-tumpul amat lah jadi lakik), tapi yang terutama selain Annabeth, adalah Grover

Aku seneng banget akhirnya Grover mendapat porsi yang cukup besar dalam petualangan ini. Dia dapet pacar dan dia akhirnya mencapai satu titik dimana dia harus berperang sendirian yaitu, menghadapi pergumulannya yang terbesar. Grover harus belajar menerima kenyataan yang paling ia takuti. Itu membuatnya lebih dewasa. Sementara Nico, pada akhirnya ia belajar memaafkan. Clarisse sendiri ternyata tidak seburuk yang aku kira. Kenyataanya aku lebih suka dia dibanding Rachel. Meskipun kadang mereka menyebalkan tapi pada akhirnya mereka berubah. Daedalus —yang tidak disangka-sangka identitasnya, akhirnya belajar lebih bijaksana dari jagoan kita —Annabeth. Ia harus belajar melepaskan karya terbaiknya. 


Akhir kata, buku ini menunjukkan bahwa kepahlawanan ga melulu tentang kemenangan yang diraih saat bertarung dengan musuh. Tapi yang lebih penting kepahlawanan adalah tentang mengalahkan diri sendiri. Kemampuan untuk mengendalikan diri, menekan ego, menghadapi ketakutan diri sendiri, belajar melepaskan, memaafkan orang lain, melindungi orang lain dan terutama menempatkan orang lain di atas diri sendiri. Egosentris dan keinginan diri sendiri lah yang mereka perangi. Kronos and his minions is just a symbol —bahwa keegoisan selalu bersifat menghancurkan, bukan membangun. Pertarungan dengan diri sendiri jauh lebih berat dibanding pertempuran fisik, tapi para demigod dalam buku ini berhasil melaluinya :)

Now I can't wait to read the last book on this series —The Last Olympian! See you again, soon! :)



1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...